Meningkatnya pertumbuhan konsumsi dunia terhadap mete adalah salah satu
peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi mete, utamanya dalam 18
bulan ke depan. Produksi mete Indonesia setiap tahun diperkirakan sebanyak 95
ribu ton dan hanya 20 persen disalurkan untuk kebutuhan dalam negeri, sementara
80 persen di ekspor ke berbagai negara.
Selain itu, masa panen mete di Indonesia berada disaat yang tepat yakni saat
negara penghasil lainnya telah melewati masa panen serta dekat dengan negara
pengolah, sekaligus produsen dan konsumen yakni India dan Vietnam, kata
Konsultan Smallholder Agribusiness Development Initiative (SADI) dari Inggeris,
Peter Jaeger PhD di Kendari, Selasa, usai membawakan materi pada lokakarya
pengembangan industri mete.
Mete gelondongan Indonesia diterima baik di berbagai pasaran dunia karena
memiliki kualitas yang sudah terbukti, walaupun tingkat produksinya berada
diposisi kelima setelah Negara India, Vietnam, Brazil dan Afrika Timur. Ini adalah peluang bagi petani mete di Indonesia untuk
meningkatkan produksi metenya, sebab pasaran internasional sudah melihat
kualitas dan kuantitasnya, katanya.
Untuk menekan angka kemiskinan di Indonesia, sebaiknya hasil mete tidak lagi
diekspor dalam bentuk gelondongan tetapi sudah dalam bentuk paket yang siap
dipasarkan. Untuk itu, dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai serta
Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, sehingga Indonesia bukan hanya negara
pengekspor tetapi juga bisa menjadi negara eksportir seperti India dan Vietnam
yang saat ini menjadai negara terbesar eksportir mete di pasaran internasional.
Pihaknya menyebutkan bahwa salah satu negara terbesar pengekspor mete
gelondongan ke India, Vietnam dan Brazil adalah Indonesia yang kemudian di
negara itulah mete tersebut diolah.
Kadis Perkebunan dan Holtikultura Sultra, Drs Syamsul Bahri mengatakan,
jumlah lahan produktif jambu mete di Sultra baru mencapai 91.700 hektare dengan
produksi perhektar mencapai 400 kg.
Padahal, potensi lahan pengembangan jambu mete di Sultra seluas 120 ribu
hektare, namun karena rendahnya harga pembelian, baik dari pedagang maupun
pengusaha menyebabkan petani lebih memilih mengembangkan komoditi lain seperti
kakao.
Petani mete di Sulawesi Tenggara (Sultra) hingga kini masih terus tertarik
mengolah biji mete gelondongan menjadi kacang mete yang prospek pasar maupun
nilai jualnya lebih menjanjikan. Harga biji mete kupas yang siap dikonsumsi
dari wilayah Indonesia, saat ini memiliki harga tertinggi dari 25 negara
penghasil mete se dunia, karena memiliki kualitas yang terbaik.
Menurut Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar,
Sulawesi Selatan (Sulsel), Dr Ir Rusnadi Padjung MSc, rendahnya produksi mete
di Indonesia diakibatkan oleh belum adanya revitalisasi atau peremajaan tanaman
yang sudah berumur 30 tahun.
“Pengembangan usaha yang masuk skala industri rumah tangga itu sebenarnya
digalakkan sejak hampir 20 tahun lalu, saat Gubernur Sulawesi Tenggara, yang
dipimpin Ir H Alala (Almarhum),” kata Kadis Perkebunan dan Hortikultura Sultra,
Ir H Ahmad Chaedir, Msi.
Ia mengatakan, pengelolahan atau pengupasan kulit luar dan kulit ari mete
gelondongan dengan peralatan sederhana itu, masih banyak dijumpai di beberapa
sentra produksi mete seperti di Kabupaten Muna, Buton, Konawe dan Kabupaten
Konawe Selatan.
Ia mencontohkan, di sepanjang perjalanan di Kecamatan Napabale hingga ujung
Kabupaten Muna bagian selatan serta di Kecamatan Lombe dan Tolandona, Kabupaten
Buton, pengolahan kacang mete secara sederhana masih sangat ramai. Peralatan
yang digunakan pun sebenarnya masih sangat sederhana yakni sebuah pisau khusus.
Hanya saja orang yang menggunakan itu harus trampil karena biji mete tidak
boleh terbelah saat dikupas, di samping getahnya ‘kurang bersahabat’ bagi kulit
bila pengolahnya tidak berhati-hati.
Kacang mete memiliki harga yang menggiurkan dibandingkan dengan mete
gelondongan, sedangkan pemasarannya pun tidak sulit dan terbuka sepanjang
tahun. Ditingkat pengelola, harga mete saat ini mencapai Rp90.000 – Rp100.000/kg
sementara ditingkat pedagang hingga mencapai Rp150.000/kg bahkan lebih (untuk
kualitas super). Sedangkan harga mete gelondongan ditingkat petani hanya
berkisar Rp15.000/kg hingga Rp20.000/kg.
Pengelolaan biji mete menjadi kacang mete tersebut sebagian besar dilakukan
oleh kaum ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak dengan upah Rp1.000/kg. Sementara
upah pengupasan kulit ari hingga mencapai Rp1.500/kg.
“Jadi kita harus bersyukur dengan maraknya industri tradisional pengolahan
mete itu akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani dan keluarganya. Ini
tentu lebih baik dari pada mereka menjual langsung mete gelondongan ke pedagang
yang selanjutnya dijual lagi ke industri pengolahan skala besar,” katanya.
Data dari Dinas Perdagangan setempat di Kabupaten Muna, sedikitnya ada 1000
kelompok usaha industri pengolahan mete. Sekitar 85 persen diantaranya masih
merupakan pengelola industri yang mengunakan alat sederhana (tradisional).